Selasa, 23 Desember 2008

tugas B INDONESIA

Jawaban Tugas 2 Kajian Bahasa Indonesia SD
Dosen Drs Nyoto Harjono, MPd


Nama : NARWASTUJATI
NIM : 292006098
Kelas : P06B1B (WONOSOBO)
Hari, tanggal: Rabu, 24 Desember 2008

Soal :
Jawab dan jelaskan pertanyaan-pertanyaan berikut ini berdasarkan referensi! 1. Jelaskan melalui contoh, perbedaan antara ujaran yang tidak bermakna dengan ujaran yang bermakna! 2. Jelaskan melalui contoh bahwa bahasa itu arbitrer, tetapi konvensional! 3. Jelaskan melalui contoh bahwa bahasa itu: a) sistematis, b) mana suka, c) ujar d) manusiawi, e) komunikatif! 4. Jelaskan melalui contoh, faktor apa sajakah yang melahirkan bermacam- macam ragam bahasa? Selamat bekerja dan sukses!



JAWABAN :

Ujaran manusia dapat dikatakan sebagai bahasa apabila ujaran tersebut mengandung makna, atau apabila dua orang manusia atau lebih menetapkan bahwa seperangkat bunyi itu memiliki arti yang serupa. Oleh karena itu, menurut Keraf (1986) bahwa apakah setiap ujaran itu mengandung makna atau tidak, haruslah ditilik dari konvensi suatu kelompok masyarakat tertentu. Setiap kelompok masyarakat bahasa, baik kecil maupun besar, secara konvensional telah sepakat bahwa setiap struktur bunyi ujaran tertentu akan mempunyai arti tertentu pula. Konvensi-konvensi masyarakat itu akhirnya menghasilkan bermacam-macam satuan struktur bunyi yang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Kesatuan-kesatuan arus-ujaran tadi yang mengandung suatu makna tertentu secara bersama-sama membentuk perbendaharaan kata dari suatu masyarakat bahasa. Contoh : satu kelompok besar yaitu masyarakat Indonesia sepakat untuk menggunakan ujaran bermakna menggunakan bahasa Indonesia seperti saya, makan, menulis dll. Kata-kata saya, makan dan menulis termasuk ujaran yang bermakna.
Sedangkan ujaran yang tidak bermakna ialah apabila ujaran itu berupa bunyi tetapi tidak dapat dimengerti maksudnya oleh orang lain bahkan ujaran itu tidak ada dalam kesepakatan kelompok atau konvensi manapun. Contoh : plaiu, loiy, jeqre.

Kata arbitrer bisa diartikan ’sewenang-wenang, berubah-ubah, tidak tetap, manasuka’. Yang dimaksud dengan istilah arbitrer itu adalah tidak adanya hubungan wajib antara lambang bahasa (yang berwujud bunyi itu) dengan konsep atau pengertian yang dimaksud oleh lambang tersebut. Umpamanya, antara [kuda] dengan yang dilambangkannya, yaitu “sejenis binatang berkaki empat yang biasa dikendarai”. Kita tidak dapat menjelaskan mengapa binatang tersebut dilambangkan dengan bunyi [kuda], bukan [aduk] atau [akud].
Meskipun hubungan antara lambang bunyi dengan yang dilambangkannya bersifat arbitrer, penggunaan lambang tersebut untuk suatu konsep tertentu bersifat konvensional. Artinya, semua anggota masyarakat bahasa itu mematuhi konvensi bahwa suatu lambang digunakan untuk mewakili konsep yang dilambangkannya.Seandainya binatang berkaki empat yang biasa dikendarai, yang secara arbitrer dilambangkan dengan bunyi [kuda], semua anggota masyarakat bahasa Indonesia harus mematuhinya. Jika tidak dipatuhi, dan menggantikannya dengan lambang lain, pasti komunikasi akan terhambat. Bahasanya menjadi tidak bisa dipahami oleh penutur bahasa Indonesia lainnya; dan berarti pula dia telah keluar dari konvensi itu.
Kalau kearbitreran bahasa terletak pada hubungan antara lambang-lambang bunyi dengan konsep yang dilambangkannya, kekonvensionalan bahasa terletak pada kepatuhan penutur bahasa untuk menggunakan lambang itu sesuai dengan konsep yang dilambangkannya.
Contoh :
· Orang Jawa menirukan bunyi suara ayam adalah “kukuruyuk”, tetapi kalau di Sunda berbunyi “kongkorongok”.
· Orang Indonesia menirukan bunyi suara senapan dengan “tar” atau “dor”, tetapi orang Inggris menirukan bunyi senapan dengan bunyi “pang”, dll.



Bahasa itu sistematis, artinya :